M
A L I B U T A
Aku
banyak mencintai laki-laki. Setelah melihat kebobrokan prilaku ayahku sendiri.
Orang yang selama ini aku kagumi, tenyata memiliki hati yang busuk, bahkan
untuk membahagiakan istri dan anaknya saja tak pernah bisa. Sampai akhirnya,
aku memilih untuk mencintai laki-laki seumuran dengannya di luar sana. Meski sesungguhnya
aku begini hanya untuk memenuhi kebahagiaanku dan mencukupi kebutuhanku serta
ibu. Aku benar-benar mengerti, bahwa apa yang mestinya dipenuhi, memanglah
harus terpenuhi.
Sudah
hampir 30 tahun usia pernikahan ayah dan ibuku. Semuanya nampak baik-baik saja.
Keduanya sangat harmonis. Mereka bahu-membahu merawat dan membesarkan aku.
Bagiku, merekalah pelajaran hidup yang sesungguhnya. Namun kini semuanya telah berubah.
Aku semakin mengenali banyak wanita di rumahku. Surti, perempuan yang tinggal
di samping rumah, yang hanya beda 2
tahun denganku, sekarang jadi sering duduk-duduk di teras rumah. Bercengkrama
manja dengan ayahku. Dia tak malu-malu menggelendoti
lengan ayahku, persis kelakuanku ketika berusia 5-6 tahun. Ada lagi Mirna,
perempuan salon pasar yang hampir setiap pagi menemani ayah minum kopi sambil
sesekali mencabuti rambut putih ayahku. Dia juga Nampak genit terhadap ayah. Begitu
pun dengan ayah, dia tidak malu-malu menyentuh pipi bahkan kadang payudara
Mirna di hadapanku. Aku terkejut, dan mencoba menegur ayah. Namun ia tetap
begitu, seakan menganggap aku tiada di antara mereka, begitu juga dengan Mirna.
Ia juga pernah mencibir-cibirkan bibirnya yang merah merona ke arahku. Seperti berbisik,
tapi terdengar jelas olehku. Katanya,”Dasar pemalas. Maunya diumpani terus
dengan om-om dari kota. Sok suci melarang-larang ayahnya berbuat begini
denganku, tapi dia sendiri? najis!”
Hatiku
terasa rapuh seketika. Bahkan ayah yang selama ini aku percaya mampu menjagaku
dengan bijak, kini ia berubah bagai monster. Hidupku berantakan karenanya.
Rumah ini terasa neraka. Hampir setiap hari aku menyaksikan ibu menangis di
kamarnya. Ia nampak tak berdaya, tubuhnya yang kuyu, ia lipat membentur tembok.
Dibungkam mulutnya dengan kain yang jarang sekali dia ganti—mungkin hanya satu
bulan sekali. Ia merapatkan tubuhnya di sisi pojok ranjangnya yang sudah reot,
agar suara tangisnya tak terdengar sampai ke luar kamar. Aku mengerti, betapa
sesaknya menangis seperti itu, tapi ibu melakukannya hampir setiap hari.
“Bu,
aku mau ibu tabah. Sudah dari dulu aku beri pilihan pada ibu, mau tetap seperti
ini atau ceraikan ayah dan kita memulai hidup baru di luar sana, bu”
“Uta,
ibu sudah tua. Apa lagi yang harus ibu lakukan? Ibu sadar, nak. Ayahmu
membutuhkan kebahagiaan yang tak pernah didapatkannya lagi semenjak ibu lumpuh
dan hanya bisa terbaring di ranjang tua ini”
“Tapi
bu. Ayah sudah keterlaluan. Membiarkan banyak wanita memasuki rumah kita.
Hampir setiap hari ayah bergonta-ganti membawa pasangannya ke rumah ini. Aku
gerah bu, aku muak! Ayah benar-benar sudah buta, ia tak punya hati. Bu, aku
mohon, ceraikan ayah, dan kita hidup di tempat lain ya, bu?”
“Tidak
bisa, Ta. Ibu sangat mencintai ayahmu. Hampir 30 tahun kami hidup bersama.
Banyak sudah kenangan yang terukir di rumah ini. Ibu ikhlas nak, membiarkan
ayahmu melakukan apapun sesukanya di rumah ini, asal dia bahagia.”
Ibu
membalikkan lagi tubuh rapuhnya. Aku tahu dia menangis. Berat beban yang ditanggungnya
saat ini. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Bahkan ibu tak pernah mau menuruti
saranku untuk pindah rumah dan menceraikan ayah. Sebagai anak, aku harus
menuruti kemauan ibu. Kadang hal itu membuat konsetrasiku pecah tak menentu.
***
Keluargaku
hidup sebatang kara sejak dulu. Ayah selalu membangkang pada orang tuanya, dan
ia pernah berbuat kesalahan ketika dia remaja. Ia hampir menghabisi nyawa
adiknya sendiri, karena ia merasa cemburu terhadap adik bungsunya itu. Yang
seharusnya menjadi bibiku itu, sempat koma beberapa bulan. Karena kejadian
itulah, ayahnya—kakekku, mengusir ayah dari rumah. Hingga akhirnya ia memilih
bekerja serabutan. Mulai dari pembersih jalanan, Office Boy di sebuah perusahan tekstil, sampai menjadi kondektur
bus mini pernah ia lakukan. Sampai akhirnya ayah bertemu dengan ibu di rumah
makan depan gang perbatasan antara kota dan desa. Ibuku terlahir dari keluarga
pensiunan pegawai negeri. Semua adik dan kakaknya menempati ruangan khusus di
Kantor Wali Kota. Ayahnya, yang juga kakekku adalah seorang Perwira Negara, dan
nenekku mantan Gubernur kota kelahiran ibu, ketika ibu berusia remaja.
Waktu
itu, di rumah nenekku sedang berlangsung acara keluarga, dan ibu disuruh oleh
nenekku untuk membeli makanan pelengkap di tempat makan yang biasa ayah sambangi.
Akhirnya, mereka bertemu dan saling jatuh hati pada pandangan pertama. Semakin
hari, semakin penasaranlah ayahku pada ibu. Ia mengikuti dan kadang menemani
ibu kursus menjahit di Kota sampai sore hari. Dari situlah percintaan mereka
dimulai. Sadar akan keluarga orang yang dicintainya, maka ayah pun mati-matian
mencari pekerjaan yang layak demi mendapatkan restu dari keluarga ibu. Namun,
sekeras apapun usaha ayah, tetap saja, kakekku menginginkan ibu untuk menikah
dengan perwira Negara juga, paling tidak seorang polisi. Akhirnya, dengan tekad
yang bulat dan tentu perasaan cinta yang mendalam terhadap ayah, ibu memilih
meninggalkan rumah dan menikah dengan ayah di waktu senja, sebelum maghrib
tiba. Mereka menikah seadanya, tanpa kakekku sebagai wali. Tanpa nenekku yang
menyimpan kain putih nan sakral di kepala ayah dan ibuku. Tanpa bunga sedap
malam atau melati yang menggantung di rambut ibu yang kumel bercampur debu.
Mereka bersatu di rumah tetangga kontrakan ayah—dulu kontrakan, sebelum rumah
itu dibayar dan jadi hak milik ayah dan ibuku sekarang.
Usia
awal-awal pernikahan mereka agak canggung melewati hidup tanpa siapapun,
terlebih ibuku yang baru saat itu memilih pergi dari sisi keluarganya. Namun
ayah bisa meyakinkan ibu bahwa tanpa sesiapa, mereka bisa hidup bahagia.
Bertahun-tahun mereka hidup berdua di rumah kontrakan yang sempit dan apak.
Tuhan belum mempercayai mereka untuk memiliki keturunan. Ayah dan ibu tidak
pernah memikirkan hal itu, bagi mereka, dapat hidup bersandingan sampai ajal
memisahkan itu sudah menjadi anugerah terindah sepanjang usia mereka. Hari demi
hari ayah menawarkan dirinya untuk bekerja di mana saja. Sampai akhirnya, dia
menemukan pekerjaan tetapnya sebagai supir pribadi seorang proyektor asal Cina.
4 tahun ayah mengabdi kepadanya. Sementara ibu menerima jasa jahit di rumah.
Hari-hari beruntungnya adalah ketika hari perayaan agama sudah mendekati
tanggalnya. Apalagi jika Idul Fitri dan Idul Adha menjelang, ibu bisa meraup
untung besar dari pekerjaannya itu. Ia juga mencoba menjajakan kue-kue kering
yang dibuatnya sendiri.
Lima
tahun sudah usia pernikahan mereka, barulah Tuhan membiarkan aku tumbuh
merangsak dalam rahim ibu. Aku mengepulkan jari-jariku pada dinding rahim ibu.
Setiap hari disenandungkannya lagu-lagu syahdu dari mulut ibu. Ayat-ayat suci
selalu ibu perdengarkan padaku. Aku girang bukan main. Kutendang lagi perut
ibuku, aku berputar hingga ibu merasa sesak dalam perutnya, saat itulah ayah datang
memanjakannya dan memarahi aku dengan lembut.
“Hayoo,
kasihan ibumu, nak. Sekarang dengar ayah bernyanyi saja”.
Naa naa naa naa laa syaa laa
laaaa..
Suara
ayah tak semerdu suara ibu, tapi dia mampu membuatku terdiam dan membiarkan ibu
bernafas lega, tidak lagi merasakan sakit. Hampir setiap hari mereka memanjakan
aku. Hingga saatnya aku tiba menyaksikan tubuhku sendiri dalam terang cahaya
yang bisa membuat mataku terpejam karena silau. Kata ayah, hari itu adalah hari
yang paling mendebarkan baginya. Ia melihat ibu menangis menahan sakit
karenaku, ia menyaksikan istri tercintanya itu menyebut-nyebutkan namanya dan
nama kedua orang tuanya yang mungkin sudah melupakannya pada saat itu. Ayah
benar-benar melihat antara hidup dan matinya seorang ibu melahirkan anaknya.
Tanpa berbuat apa-apa, ayah hanya bisa mengintip ibu dari tepian kain gorden
bertuliskan merk kopi hitam yang sering ada di iklan-iklan televisi. Ayah
hampir menjatuhkan dirinya di lantai karena lemas, namun dia tetap
membaca-bacakan do’a untuk ibu. Tak lama, tangisanku pun terdengar. Ayah
mengadzani aku dan ia sesekali erat memeluk ibu karena bersyukur.
***
Selain
Surti dan Mirna, ada lagi Gladis. Perempuan kota yang tampangnya sedikit
urakan. Kadang memakai rok pendek dan gaun mini sepinggang yang sangat
transparan. Ia bergandengan tangan dengan ayah di larutnya malam yang semakin dingin.
Sedingin langkah berat kakiku yang sudah muak melihat tingkah ayah dan
wanita-wanitanya yang selalu tak sopan terhadapku, bahkan ibuku. Perempuan kota
itulah yang paling aku benci. Kedatangannya hampir di setiap malam. Ia pun tak
jarang menemani ayah tidur dan melakukan perbuatan suami istri di depan ibuku
sendiri. Namun, semenjak aku meradang dan mengancamnya akan meloparkan ia ke
polisi, nyalinya agak sedikit menurun menghadapi aku. Kadang mereka tidur di
ruangan belakang yang tak berjendela dan sangat sempit, setelah kejadian itu. Tapi
tetap saja, aku pernah menyaksikan air mata ibu karenanya. Dan aku berjanji,
suatu saat nanti aku akan membalas semua perbuatan mereka terhadap ibuku.
Aku
bekerja di klub malam, di perbatasan kota. Hampir setiap malam, selepas isya
aku berangkat ke tempat itu. Aku bekerja sebagai pelayan makanan, dan kerjaku
hanya sampai jam 1 dini hari. Meski aku bekerja sebagai pelayan makanan, tetap
saja mereka—tetangga-tetanggaku, menganggap aku sama dengan wanita-wanita
murahan yang sering ayah bawa ke rumah. Padahal, selama aku bekerja di Klub,
belum pernah sekalipun aku melakukan hal keji seperti mereka. Meskipun memang,
mereka kadang mengajakkku melakukan hal di luar agama, tapi aku masih punya
moral. Tujuanku adalah untuk bekerja, menafkahi ibu dan mencukupi kebutuhanku
dan ibu. Walaupun tidak dapat dipungkiri, setelah hari-hari yang kelam aku
lalui, aku banyak mencintai laki-laki seusia ayah, itu hanya karena mereka peduli
tehadapku, dan aku selalu dianggapnya sebagai anak. Ya, aku mencintai mereka
untuk kebahagiaanku, karena ternyata mereka tulus menyayangiku, tidak seperti
ayah yang busuk, dan hanya ingin menikmati tubuh wanita-wanita simpanannya itu.
Walaupun di luar sana banyak yang mencibirku, tapi aku tidak pernah peduli, karena
bagiku, segala kehidupanku adalah aku yang menjalaninya, bukan orang lain.
***
Aku
hidup bahagia sejak kecil. Ibu merawatku, membelikan ini itu untukku. Saat aku
berusia 5 tahun, ayah sudah berhenti menjadi supir pribadi, dan ia bekerja di sebuah dealer
motor sebagai operasionil kantor. Sedikit demi sedikit, penghasilan keluargaku
meningkat. Mereka bisa membangun rumah, membiayai sekolahku, dan kini terlihat
lebih bahagia, tentunya tanpa sesiapa. Aku selalu dimanja oleh kedua orang
tuaku, hingga aku dewasa menginjak usia 17 tahun. Menjelang kelulusan Sekolah
Menengah Atas, aku berhenti sekolah karena ayah juga keluar dari kantornya.
Untuk mencukupi kebutuhan kami, akhirnya kami hanya mengandalkan pekerjaan ibu.
Aku membantu ibu menjajakan kue-kue keringnya. Di sekolah-sekolah, pasar,
bahkan kantor-kantor kota yang tutup hingga sore hari. Aku selalu habis
menjajakan dagangan ibu, tak tersisa sedikit pun. Ibu senang melihat itu.
Selain itu, aku juga mencari pekerjaan lain. Aku bekerja di sebuah pabrik
cokelat rumahan, dan juga di pembuatan bahan perca. Dari hasil kerjaku itu, aku
bisa membeli baju, sepatu, dan kebutuhanku yang lain.
Ketika
usiaku beranjak semakin dewasa, ibu semakin membatasi pekerjaanku. Ia takut
kalau aku terpengaruh oleh teman-temanku dari kota. Hingga pada suatu hari, ibu
ikut menemaniku ke kota. Tanpa sengaja, dari arah belakang, mobil mini bus yang
melaju sangat kencang menabrak ibu dan membuat tubuh ibu terpental hingga 2
kilometer lebih. Ibu sempat tak sadarkan diri selama 2 minggu. Tulang kakinya
patah dan harus diamputasi. Supir mini bus itu kebetulan kenal dengan ayahku,
dan ia berjanji akan bertanggung jawab atas segala urusan biaya Rumah Sakit.
Ayah membiarkan orang itu bebas, dan tidak memilih jalur hukum karena ayah
percaya dia akan sungguh-sungguh bertanggung jawab sepenuhnya atas ibu. Namun,
semakin hari, supir mini bus itu tidak menunjukkan niat baiknya. Pasca operasi
amputasi kaki ibu, ia tak datang untuk memberikan uang pengobatan rawat inap
ibu. Akhirnya, ayah memilih membawa ibu pulang ke rumah, dan dirawat seadanya.
Semakin
hari kondisi ibu melemah. Sampai ia pun tidak bisa lagi menggerakkan kedua
pahanya. Ibu hanya bisa terbaring, menggeser-geserkan tubuhnya di atas kasur
tipis yang sebagian kapuknya sudah keluar dan beterbangan membebaskan dirinya
dari pengap dunia yang mengkungkungnya bersama tangisan ibu. Dari sanalah,
perpecahan keluargaku dimulai.
***
Saban
hari, aku menenangkan ibu yang menangis di pojokan kasurnya. Kadang tak tenang,
jika harus mendapatkan lembur dari klub dan membiarkan ibu seorang diri di
rumah. Tapi bagaimana, toh ibu sendiri yang memillih hal itu. Aku tidak dapat
lagi membujuknya untuk pergi dari rumah. Kenangannya-lah yang membuat ibu
merasa enggan untuk pergi. Mungkin yang menjadi pengharapannya kini adalah
keajaiban Tuhan. Tapi sampai kapan? Ah, rasanya aku mau teriak di hadapan ibu,
menyadarkannya, bahwa ia tidak pantas diperlakukan seperti itu oleh ayah.
‘Tuhan, usaikanlah semua ini’
Pada
malam yang begitu dingin. Bintang pun tak nampak di langit-langit sana. Hanya
mega yang beriringan berat menerpa malam di batas waktu. Aku pulang seperti
biasa, tepat jam 1 dini hari sampai di depan pintu rumah. Aku melihat ayah
duduk sendiri di halaman rumah, tanpa satu wanitanya pun yang menemani.
“Siapa
tadi yang mengantarmu? Terlihat tua, sepertinya dia lelaki kaya. Dibayar, untuk
menemaninya satu malam?”
‘Banyak tanya. Apa pedulimu? Busuk!”,
kataku dalam hati. Aku malas berurusan dengan ayah, apalagi jika sudah membahas
tentang laki-laki yang mengantarkan aku pulang. Akan seperti berbicara pada
tembok-tembok sejarah yang kekar, namun runtuh setelah ada kepongahan dalam
kisahnya. Aku pun berlalu menuju kamar ibu, memastikannya bahwa dia sudah
terlelap dengan segala pengharapannya yang tak pernah luntur, dan aku pun lekas
tidur.
***
Tiba-tiba
aku mendengar suara langkah kaki yang berat menuju kamarku. Karena lelah, aku
abaikan suara itu, kemudian terlelap kembali. Tak lama, aku merasakan
sentuhan-sentuhan hangat di ujung jari-jari kakiku. Semakin lama, sentuhan itu
terus menggerayangi tubuhku. Aku bangun dengan hentakkan tubuh yang luar biasa
dari laki-laki itu. Terjatuh kembali ke kasur dan aku lemas tak berdaya.
“Ayaaah..”,
lirihku menahan tangis
“Diam
kau anak angkuh! Hari ini tidak ada siapapun yang menemani aku. Kau harus
menggantikan ibumu, menggantikan wanita-wanita keparat yang telah
mengkhianatiku”
“Tapi
yah, aku ini Malibuta, anakmu! Mana mungkin kau bisa melakukan ini padaku?”
Air
mata pun tak henti mengalir, gemetar seluruh tubuhku. Berkeringat sepanjang
adegan konyol itu. Sorot lampu seolah redup tiba-tiba. Ayah tidak acuhkan
perkataanku. Sementara bayangan ibu dan ketegarannya selama ini menguras
pandanganku yang juga tak jelas lagi memandang wajah ayah. Aku tak mampu
melepaskan pegangan ayah. Ia bernafsu memburu kemaluanku, tapi aku selalu
berhasil menghindarinya. Namun ia tetap menjamah setiap apa yang bisa disentuhnya.
Sedang aku sibuk memerhatikan sekelilingku—mencari apapun yang bisa melepaskan
aku dari cengkraman ayah.
‘Tuhan, aku mohon jangan biarkan dia
merenggut keperawananku’
Aku
terus menoleh ke kanan kiriku. Sesekali lelaki biadab itu menampar ku yang
tidak mau diam. Dia membekap mulutku dengan tenaganya yang lebih besar
berkali-kali lipat dari tenagaku. Aku hanya bisa menangis. Lagi-lagi wajah ibu
melintas di sela ketakutanku. Aku semakin tak berdaya, tak kuasa menghadapi apa
yang sedang aku alami. Kemudian, aku lihat vas bunga kaca yang berdiri tegak di
meja hias dekat ranjangku. Benda itu seolah memberikan kekuatan untukku.
“Ayo, raih aku, Ta. Pecahkan aku tepat di
kepala lelaki bejat itu. aku rela tersakiti demi kau”
‘Seakan-akan ia mengerti apa yang
harus aku lakukan, atau jangan-jangan itu hanya imajinasiku saja. Ah, lelaki
tua ini harus mati, apapun caranya!’
Dengan
sigap, aku meraih vas bunga itu dan…
Praaaaaaak !
Tepat
kupecahkan benda itu di ubun-ubun ayah. Darahnya menetes mengenai wajahku yang
berada di bawah ayah. Berkali-kali aku arahkan pukulan itu di tempat yang sama,
hingga akhirnya ia lemas terkulai dan jatuh ke lantai. Aku bisa bernafas lega
dan masih menggenggam sisa vas bunga di tanganku. Karena bayangan ibu masih
saja mengikutiku, air mata ibu juga masih terlihat jelas di pandanganku, aku
merasa salah terhadapnya. Aku merasa mengkhianati cinta suci ibu untuk ayah.
Dengan
sekejap, aku turun menapaki lantai. Melihat kondisi ayah yang terkulai. Tapi ia
masih bergerak dan mencoba menarik lenganku. Karena ketakutan yang berlebihan,
aku menghujamkan sisa vas itu tepat di dadanya yang sudah telanjang.
“Aaargh,
benar-benar anak angkuh kau Uta! Kau coba membunuh ayahmu sendiri!”
“Ini
bukan salahku! Ini salahmu yang memaksa aku melakukannya!”, teriakku di hadapan
ayah.
Darah
mengalir lebih deras. Jarum jam seakan tertawa mengikuti arahku yang semakin
menjauhi posisi ayah. Aku panik dan tersadar atas apa yang sudah kulakukan.
Kemudian aku berlari menuju kamar ibu. Ia meringkuk, merapatkan tubuhnya pada
tembok yang kaku dan lembab. Ia mendengar semua yang telah terjadi di kamarku.
Mata lelahnya membuat aku semakin bersalah. Entah dari mana aku harus
menjelaskannya. Tapi ini bukan kesalahanku.
“Bu,
aku…”, belum lagi utuh kalimatku, ibu memotongnya dengan suara yang bergetar dan
air mata yang terus merembas di pipinya.
“Kenapa
tidak kau iyakan saja maunya? Kenapa harus kau bunuh dia, orang yang selama ini
ibu cinta. Malibuta..dia itu ayahmu, laki-laki hebat yang telah membesarkanmu.
30 tahun sudah ibu hidup bersamanya. Aku mengerti kesakitannya selama ini. Tapi
kau buat dia tidak ada lagi untuk ibu, nak!”
Aku
tidak mengerti apa yang ada dipikiran ibu. Tentang waktu yang semakin mengajari
ketegaran dalam hidupnya, tentang masa lalu yang terlewati begitu saja, tentang
pertalian darah yang mestinya tidak harus diselesaikan seperti ini. Aku semakin
tidak mengerti. Apa salahku. Apa yang telah membuatku melukai ibu?
Seperti
ada jutaan iblis dalam diriku, tiba-tiba aku membenci perkataan ibu. Tidak ada
lagi bayangan ibu yang membuatku kuyu. Kesalahan yang tak masuk akal itu ia
limpahkan kepadaku. Aku tidak terima. Lantas aku memaksa ibu untuk membalikkan
tubuhnya yang mengurus dimakan angin dan kesengsaraan batinnya. Ibu berteriak,
ketika sisa vas bunga yang masih aku genggam itu menusuk perut kecilnya. Ia
lemas, menjatuhkan segala harapannya pada kecemasanku tentang ketiadaan yang
selalu menyita keadaanku. Detaknya pun berhenti. Matanya memejam perlahan.
Pasi. Aku teriak sejadi-jadinya. Menyadarkan lamunan panjangku yang entah akan
berlabuh di tepian yang mana.
Tangisanku
semakin kencang, seluruh darahku seolah ikut berhenti mengalir dari arusnya. Kuperhatikan
wajahku di cermin, pucat pasi tak berbentuk. Wajahku dingin, sedingin pagi yang
sebentar lagi menyapa langit-langit daun kering di halaman rumah. Aku terus
memeluk ibu yang berlumuran darah, sementara ayah aku biarkan tergeletak di
kamarku. Entah apa yang harus aku lakukan. Aku tidak mengerti pada waktu. Aku
tidak memahami jalan yang telah Tuhan tunjukkan padaku. Aku seolah-olah
terhempas di padang sabana yang kemudian mengerat kebahagiaan yang lain. Aku
berada di tapal batas yang entah sampai kapan ‘kan berhenti. Aku tak punya
sesiapa. Aku ingin hilang dari putaran bumi yang semakin mengerucutkan aku.
Aku…
“Taa,
utaa! Belikan ibu bubur. Ayah ingin menyuapinya di pagi yang cerah ini”
Ayah
membangunkan aku yang terlelap di kursi panjang ruang tamu. Aku terdiam cukup
lama. Memerhatikan wajah ayah. Ada yang kembali di wajah itu, tapi entah, aku
samar melihatnya. Tubuhku berkeringat dengan deras. Membayangkan wajahku yang
kemudian tiba-tiba pasi di antara nyata dan tidak. Kualihkan lagi pandanganku.
Dengan tersipu, ibu duduk di samping ayah. Ku tatap perlahan wajah keduanya. Ku
lihat ada garis-garis yang menua di sela tawa kecil mereka yang selama ini aku
rindukan. Mereka kembali, kembali pada ejaan masa yang kian menyeluruh utuh.
Seketika itu, aku bangun dan memeluk erat keduanya. Air mataku merembas deras
di pundak ayah dan ibuku.
~ S E L E S A I ~
Serang, April
2012